SEJARAH PRA - BANK INDONESIA
Bagian Satu : Sejarah Perkembangan Bank Sentral di Nusantara
Jauh
sebelum kedatangan bangsa barat, nusantara telah menjadi pusat perdagangan
internasional. Sementara di daratan Eropa, merkantilisme telah berkembang
menjadi revolusi industri dan menyebabkan pesatnya kegiatan dagang Eropa. Pada
saat itulah muncul lembaga perbankan sederhana, seperti Bank van Leening di
negeri Belanda. Sistem perbankan ini kemudian dibawa oleh bangsa barat yang
mengekspansi nusantara pada waktu yang sama. VOC di Jawa pada 1746 mendirikan
De Bank van Leening yang kemudian menjadi De Bank Courant en Bank van Leening
pada 1752. Bank itu adalah bank pertama yang lahir di nusantara, cikal bakal
dari dunia perbankan pada masa selanjutnya. Pada 24 Januari 1828, pemerintah
Hindia Belanda mendirikan bank sirkulasi dengan nama De Javasche Bank (DJB).
Selama berpuluh-puluh tahun bank tersebut beroperasi dan berkembang berdasarkan
suatu oktroi dari penguasa Kerajaan Belanda, hingga akhirnya diundangkan DJB
Wet 1922.
Masa
pendudukan Jepang telah menghentikan kegiatan DJB dan perbankan Hindia Belanda
untuk sementara waktu. Kemudian masa revolusi tiba, Hindia Belanda mengalami
dualisme kekuasaan, antara Republik Indonesia (RI) dan Nederlandsche Indische
Civil Administrative (NICA). Perbankan pun terbagi dua, DJB dan bank-bank
Belanda di wilayah NICA sedangkan "Jajasan Poesat Bank Indonesia" dan
Bank Negara Indonesia di wilayah RI. Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949
mengakhiri konflik Indonesia dan Belanda, ditetapkan kemudian DJB sebagai bank
sentral bagi Republik Indonesia Serikat (RIS). Status ini terus bertahan hingga
masa kembalinya RI dalam negara kesatuan. Berikutnya sebagai bangsa dan negara
yang berdaulat, RI menasionalisasi bank sentralnya. Maka sejak 1 Juli 1953
berubahlah DJB menjadi Bank Indonesia, bank sentral bagi Republik Indonesia.
Bagian Dua : Nusantara sampai dengan Awal Abad ke 19
Sebelum
kedatangan bangsa barat, nusantara telah berkembang menjadi wilayah perdagangan
internasional. Pada saat itu terdapat dua jalur perniagaan internasional yang
digunakan oleh para pedagang, jalur darat dan jalur laut. Pada masa itu telah
terdapat dua kerajaan utama di nusantara yang mempunyai andil besar dalam
meramaikan perniagaan internasional, yaitu Sriwijaya dan Majapahit. Dalam
maraknya perniagaan tersebut belum ada mata uang baku yang dijadikan nilai
standar. Meskipun masyarakat telah mengenal mata uang dalam bentuk
sederhana.
Sementara
itu pada abad ke-15 bangsa-bangsa Eropa sedang berupaya memperluas wilayah
penjelajahannya di berbagai belahan dunia, termasuk Asia dan Nusantara. sejak
jatuhnya Konstantinopel ke tangan kekuasaan Turki Usmani (1453), penjelajahan
tersebut dipelopori oleh Spanyol dan Portugis yang kemudian diikuti oleh
Belanda, Inggris, dan Perancis. Kegiatan penjelajahan tersebut telah mendorong
munculnya paham merkantilisme di Eropa pada abad ke 16–17.
Selanjutnya
pada akhir abad ke-18 revolusi industri telah berlangsung di Eropa. Kegiatan
industri berkembang dan hasil produksi meningkat sehingga mendorong kegiatan
ekspor ke wilayah Asia dan Amerika. Pesatnya perdagangan di Eropa memicu
tumbuhnya lembaga pemberi jasa keuangan yang merupakan cikal-bakal lembaga
perbankan modern, antara lain seperti Bank van Leening di Belanda. Kemudian
secara bertahap bank-bank tertentu di wilayah Eropa seperti Bank of England
(1773), Riskbank (1809), Bank of France (1800) berkembang menjadi bank sentral.
Munculnya
Malaka sebagai emporium perdagangan telah menarik perhatian bangsa Portugis
yang akhirnya pada 1511 berhasil menguasai Malaka. Mereka terus bergerak ke
arah timur menuju sumber rempah-rempah di Maluku. Di sana Portugis menghadapi
bangsa Spanyol yang datang melalui Filipina. Beberapa saat kemudian bangsa
Belanda juga berusaha menguasai sumber-sumber komoditi perdagangan di Jawa dan Nusantara.
Dengan mengibarkan bendera VOC yaitu perusahaan induk penghimpun
perusahaan-perusahaan dagang Belanda, mereka mengukuhkan kekuasaanya di Batavia
pada 1619. Untuk memperlancar dan mempermudah aktivitas perdagangan VOC di
Nusantara, pada 1746 didirikan De Bank van Leening dan kemudian berubah menjadi
De Bank Courant en Bank van Leening pada 1752. Bank van Leening merupakan bank
pertama yang beroperasi di Nusantara. Pada akhir abad ke-18, VOC telah
mengalami kemunduran, bahkan kebangkrutan. Maka kekuasaan VOC di nusantara
diambil alih oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Setelah masa pemerintahan Herman
William Daendels dan Janssen, Hindia Timur akhirnya jatuh ke tangan Inggris.
Ratu
Inggris mengutus Sir Thomas Stamford Raffles untuk memerintah Hindia Timur.
Tetapi pemerintahan Raffles tidak bertahan lama, karena setelah usainya perang
melawan Perancis (Napoleon) di Eropa, Inggris dan Belanda membuat kesepakatan
bahwa semua wilayah Hindia Timur diserahkan kembali kepada Belanda. Sejak saat
itu Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan
diperintah oleh Komisaris Jenderal (1815–1819) yang terdiri dari Elout,
Buyskes, dan van der Capellen. Pada periode inilah berbagai perbaikan ekonomi
mulai dilaksanakan di Hindia Belanda. Hingga nantinya Du Bus menyiapkan
beberapa kebijakan yang mempersiapkan didirikannya De Javasche Bank pada 1828.
Bagian Tiga : DJB berdasarkan Oktroi 1 s.d. 8
Gagasan
pembentukan bank sirkulasi untuk Hindia Belanda dicetuskan menjelang
keberangkatan Komisaris Jenderal Hindia Belanda Mr. C.T. Elout ke Hindia
Belanda. Kondisi keuangan di Hindia Belanda dianggap telah memerlukan
penertiban dan pengaturan sistem pembayaran dalam bentuk lembaga bank. Pada
saat yang sama kalangan pengusaha di Batavia, Hindia Belanda, telah mendesak
didirikannya lembaga bank guna memenuhi kepentingan bisnis mereka. Meskipun
demikian gagasan tersebut baru mulai diwujudkan ketika Raja Willem I
menerbitkan Surat Kuasa kepada Komisaris Jenderal Hindia Belanda pada 9
Desember 1826. Surat tersebut memberikan wewenang kepada pemerintah Hindia
Belanda untuk membentuk suatu bank berdasarkan wewenang khusus berjangka waktu,
atau lazim disebut oktroi.
Dengan
surat kuasa tersebut, pemerintah Hindia Belanda mulai mempersiapkan berdirinya
DJB. Pada 11 Desember 1827, Komisaris Jenderal Hindia Belanda Leonard Pierre
Joseph Burggraaf Du Bus de Gisignies mengeluarkan Surat Keputusan No. 28
tentang oktroi dan ketentuan-ketentuan mengenai DJB. Kemudian pada 24 Januari
1828 dengan Surat Keputusan Komisaris Jenderal Hindia Belanda No. 25 ditetapkan
akte pendirian De Javasche Bank (DJB). Pada saat yang sama juga diangkat Mr. C.
de Haan sebagai Presiden DJB dan C.J. Smulders sebagai sekretaris DJB.
Oktroi
merupakan ketentuan dan pedoman bagi DJB dalam menjalankan usahanya. Oktroi DJB
pertama berlaku selama 10 tahun sejak 1 Januari 1828 sampai 31 Desember 1837
dan diperpanjang sampai dengan 31 Maret 1838. Pada periode oktroi keenam, DJB
melakukan pembaharuan akte pendiriannya di hadapan notaris Derk Bodde di
Jakarta pada 22 Maret 1881. Sesuai dengan akte baru DJB, status bank diubah
menjadi Naamlooze Vennootschap (N.V.). Dengan perubahan akte tersebut, DJB
dianggap sebagai perusahaan baru. Oktroi kedelapan adalah oktroi DJB terakhir
hingga berlakunya DJB Wet pada 1922. Pada periode oktroi terakhir ini, DJB
banyak mengeluarkan ketentuan baru dalam bidang sistem pembayaran yang mengarah
kepada perbaikan bagi lalu lintas pembayaran di Hindia Belanda. Oktroi
kedelapan berakhir hingga 31 Maret 1921 dan hanya diperpanjang selama satu
tahun sampai dengan 31 Maret 1922.
Bagian Empat : DJB Berdasarkan DJB Wet
Pada 31
Maret 1922 diundangkan De Javasche Bankwet 1922 (DJB Wet). Bankwet 1922 ini
kemudian diubah dan ditambah dengan UU tanggal 30 April 1927 serta UU 13
November 1930. Pada dasarnya De Javasche Bankwet 1922 adalah perpanjangan dari
oktroi kedelapan DJB yang berlaku sebelumnya. Masa berlaku Bankwet 1922 adalah
15 tahun ditambah dengan perpanjangan otomatis satu tahun, selama tidak ada
pembatalan oleh gubernur jenderal atau pihak direksi. Pimpinan DJB pada periode
DJB Wet adalah direksi yang terdiri dari seorang presiden dan
sekurang-kurangnya dua direktur, satu di antaranya adalah sekretaris. Selain
itu terdapat jabatan presiden pengganti I, presiden pengganti II, direktur
pengganti I, dan direktur pengganti II. Penetapan jumlah direktur ditentukan
oleh rapat bersama antara direksi dan dewan komisaris. Pada periode ini DJB
terdiri atas tujuh bagian, di antaranya bagian ekonomi statistik, sekretaris,
bagian wesel, bagian produksi, dan bagian efek-efek.
Pada
periode ini DJB berkembang pesat dengan 16 kantor cabang, antara lain: Bandung,
Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja,
Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado, serta
kantor perwakilan di Amsterdam, dan New York. DJB Wet ini terus berlaku sebagai
landasan operasional DJB hingga lahirnya Undang-undang Pokok Bank Indonesia 1
Juli 1953.
Bagian Lima : DJB pada Masa Pendudukan Jepang (1942-1945)
Pecahnya
Perang Dunia II di Eropa terus menjalar hingga ke wilayah Asia Pasifik. Militer
Jepang segera melebarkan wilayah invasinya dari daratan Asia menuju Asia Tenggara.
Menjelang kedatangan Jepang di Pulau Jawa, Presiden DJB, Dr. G.G. van Buttingha
Wichers, berhasil memindahkan semua cadangan emasnya ke Australia dan Afrika
Selatan. Pemindahan tersebut dilakukan lewat pelabuhan Cilacap. Setelah
menduduki Pulau Jawa pada bulan Februari-Maret 1942, tentara Jepang memaksa
penyerahan seluruh aset bank kepada mereka. Selanjutnya, pada bulan April 1942,
diumumkan suatu banking-moratorium tentang adanya penangguhan pembayaran
kewajiban-kewajiban bank. Beberapa bulan kemudian, pimpinan tentara Jepang
untuk Pulau Jawa, yang berada di Jakarta, mengeluarkan ordonansi berupa
perintah likuidasi untuk seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank Cina.
Ordonansi serupa juga dikeluarkan oleh komando militer Jepang di Singapura untuk
bank-bank di Sumatera, sedangkan kewenangan likuidasi bank-bank di Kalimantan
dan Great East diberikan kepada Navy Ministry di Tokyo.
Fungsi
dan tugas bank-bank yang dilikuidasi tersebut, kemudian diambil alih oleh
bank-bank Jepang, seperti Yokohama Specie Bank, Taiwan Bank, dan Mitsui Bank,
yang pernah ada sebelumnya dan ditutup oleh Belanda ketika mulai pecah perang.
Sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa, dibentuklah Nanpo Kaihatsu Ginko yang
melanjutkan tugas tentara pendudukan Jepang dalam mengedarkan invansion money
yang dicetak di Jepang dalam tujuh denominasi, mulai dari satu hingga sepuluh
gulden. Sampai pertengahan bulan Agustus 1945, telah diedarkan invansion money
senilai 2,4 milyar gulden di Pulau Jawa, 1,4 milyar gulden di Sumatera, serta dalam
nilai yang lebih kecil di Kalimantan dan Sulawesi. Sejak tanggal 15 Agustus
1945, juga masuk dalam peredaran senilai 2 milyar gulden, yang sebagian berasal
dari uang yang ditarik dari bank-bank Jepang di Sumatera serta sebagian lagi
dicuri dari De Javasche Bank Surabaya dan beberapa tempat lainnya. Hingga bulan
Maret 1946, jumlah uang yang beredar di wilayah Hindia Belanda berjumlah
sekitar delapan milyar gulden. Hal tersebut menimbulkan hancurnya nilai mata
uang dan memperberat beban ekonomi wilayah Hindia Belanda.
Bagian Enam : DJB Masa Revolusi
Setelah Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945, Indonesia
segera memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Keesokan harinya,
pada 18 Agustus 1945 telah disusun Undang-Undang Dasar 1945. Dalam penjelasan
UUD 1945 Bab VIII pasal 23 Hal Keuangan yang menyatakan cita-cita membentuk
bank sentral dengan nama Bank Indonesia untuk memperkuat adanya kesatuan
wilayah dan kesatuan ekonomi-moneter. Sementara itu dengan membonceng tentara
Sekutu, Belanda kembali mencoba menduduki wilayah yang pernah dijajahnya. Maka
dalam wilayah Indonesia terdapat dua pemerintahan yaitu: pemerintahan Republik
Indonesia dan pemerintahan Belanda atau Nederlandsche Indische Civil
Administrative (NICA). Selanjutnya NICA membuka akses kantor-kantor pusat Bank
Jepang di Jakarta dan menugaskan DJB menjadi bank sirkulasi mengambil alih
peran Nanpo Kaihatsu Ginko. Tidak lama kemudian DJB berhasil membuka sembilan
cabangnya di wilayah-wilayah yang dikuasai oleh NICA. Pembukaan cabang-cabang DJB
terus berlanjut seiring dengan dua agresi militer yang dilancarkan Belanda
kepada Indonesia. Sementara itu di wilayah yang dikuasai oleh Republik
Indonesia, dibentuk Jajasan Poesat Bank Indonesia (Yayasan Bank Indonesia) yang
kemudian melebur dalam Bank Negara Indonesia sebagai bank sirkulasi berdasarkan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.2/1946. Namun demikian situasi
perang kemerdekaan dan terbatasnya pengakuan dunia sangat menghambat peran BNI
sebagai bank sirkulasi. Namun demikian pada 30 Oktober 1946, pemerintah dapat
menerbitkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) sebagai uang pertama Republik
Indonesia. Periode ini ditutup dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949 yang
memutuskan DJB sebagai bank sirkulasi untuk Republik Indonesia Serikat (RIS)
dan Bank Negara Indonesia sebagai bank pembangunan.
Bagian Tujuh : Periode Pengakuan Kedaulatan RI s.d.
Nasionalisasi DJB
Pada
Desember 1949, Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia sebagai bagian
dari Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada saat itu, sesuai dengan keputusan
Konferensi Meja Bundar (KMB), fungsi bank sentral tetap dipercayakan kepada De
Javasche Bank (DJB). Pemerintahan RIS tidak berlangsung lama, karena pada
tanggal 17 Agustus 1950, pemerintah RIS dibubarkan dan Indonesia kembali ke
bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada saat itu, kedudukan DJB
tetap sebagai bank sirkulasi. Berakhirnya kesepakatan KMB ternyata telah
mengobarkan semangat kebangsaan yang terwujud melalui gerakan nasionalisasi
perekonomian Indonesia. Nasionalisasi pertama dilaksanakan terhadap DJB sebagai
bank sirkulasi yang mempunyai peranan penting dalam menggerakkan roda
perekonomian Indonesia. Sejak berlakunya Undang-undang Pokok Bank Indonesia
pada tanggal 1 Juli 1953, bangsa Indonesia telah memiliki sebuah lembaga bank
sentral dengan nama Bank Indonesia.
Sebelum
berdirinya Bank Indonesia, kebijakan moneter, perbankan, dan sistem pembayaran
berada di tangan pemerintah. Dengan menanggung beban berat perekonomian negara
pasca perang, kebijakan moneter Indonesia ditekankan pada peningkatan posisi
cadangan devisa dan menahan laju inflasi. Sementara itu, pada periode ini,
pemerintah terus berusaha memperkuat sistem perbankan Indonesia melalui
pendirian bank-bank baru. Sebagai bank sirkulasi, DJB turut berperan aktif
dalam mengembangkan sistem perbankan nasional terutama dalam penyediaan dana
kegiatan perbankan. Banyaknya jenis mata uang yang beredar memaksa pemerintah
melakukan penyeragaman mata uang. Maka, meski hanya untuk waktu yang singkat,
pemerintah mengeluarkan uang kertas RIS yang menggantikan Oeang Republik
Indonesia dan berbagai jenis uang lainnya. Akhirnya, setelah sekian lama
berlaku sebagai acuan hukum pengedaran uang di Indonesia, Indische Muntwet 1912
diganti dengan aturan baru yang dikenal dengan Undang-undang Mata Uang 1951.
Bagian Delapan : Presiden De Javasche Bank (1828 - 1953)
Mr. C. de Haan
Masa Jabatan : 1828 -
1838
C. J. Smulders
Masa Jabatan : 1838 -
1851
E. Francis
Masa Jabatan : 1851 -
1863
C. F. W. Wiggers van
Kerchem
Masa Jabatan : 1863 -
1868
J. W. C. Diepenheim
Masa Jabatan : 1868 -
1870
Mr. F. Alting Mees
Masa Jabatan : 1870 -
1873
Mr. N. P. van den Berg
Masa Jabatan : 1873 -
1889
S. B. Zeverijn
Masa Jabatan : 1889 -
1893
D. Groeneveld
Masa Jabatan : 1893 -
1898
J. Reijsenbach
Masa Jabatan : 1899 -
1906
Mr. G. Vissering
Masa Jabatan : 1906 -
1912
E. A. Zeilinga Azn.
Masa Jabatan : 1912 -
1924
Mr. L. J. A. Trip
Masa Jabatan : 1924 -
1929
Mr. Dr. G. G. van
Buttingha Wichers
Masa Jabatan : 1929 -
1945
Dr. R. E. Smits
Masa Jabatan : 1946 -
1949
Dr. A. Houwink
Masa Jabatan : 1949 -
1951
Mr. Sjafruddin
Prawiranegara
Masa
Jabatan : 1951 – 1953
SUMBER :
https://www.bi.go.id/